Kenali Tanda-Tanda KDRT Dan Tips Menghindarinya Agar Hubungan Tetap Harmonis
October 7, 2022Jess No Limit, Awal Karir Hingga Puncak Popularitas Sebagai Youtuber Gaming!
October 18, 2022Pada tanggal 10 Oktober 2022, seluruh dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia. Peringatan tersebut diasosiasikan dan diciptakan WFMH (World Federation of Mental Helath).
Menurut WFMH Global, setiap negara dengan penghasilan tinggi dilaporkan memiliki 75% lebih penduduk yang mengalami depresi, bahkan mereka tidak mendapatkan perawatan medis memadai. Begitupun dengan negara-negara yang berpenghasilan menengah hingga rendah yang tidak memberikan perawatan sama sekali bagi para pengidap gangguan kesehatan jiwa/mental.
Sejak pandemi Covid-19, WHO mencatat dan mengonfirmasi bahwa pandemi telah melahirkan krisis kesehatan mental secara global, memicu tekanan dalam jangka pendek maupun panjang, hingga merusak mental jutaan penduduk dunia.
Tanpa tindakan yang tegas, justru dampak krisis ini bisa berlangsung lebih lama dibandingkan pandemi Covid-19 itu sendiri. Selain itu, hal tersebut mendesak pihak pemerintah harus mengambil tindakan untuk memperbaiki adanya ketidaksetaraan mencolok akibat pandemi, tidak terkecuali akses menuju pelayanan kesehatan mental.
Selain pemerintah, pihak masyarakat juga harus peduli akan hal ini, entah itu bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang sekitar. Jika dibandingkan harus mendeskriminasi beberapa orang dengan julukan ‘gila’ atau ‘tidak waras’, alangkah baiknya masyarakat melakukan beberapa hal positif demi memajukan kesehatan jiwa dan mental.
Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia
Lembaga EHFA (Emotional Health For All) bekerjasama dengan Black Dog Institute dan Yayasan Kesehatan Umum Kristen untuk mendeklarasikan Relio Mental Health Indonesia pada tanggal 29 Oktober mendatang.
Dr. Sandersan Onie, selaku Project Leader & Founder EHFA sekaligus President Indonesian Association for Suicide Prevention mengungkapkan bahwa Indonesia mempunyai masalah gangguan mental cukup tinggi. Bahkan menurut studi terbaru, ditemukan bahwa tingkat kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia mungkin setidaknya terjadi 4 kali lipat angka yang telah dilaporkan.
Lambatnya penanganan terhadap gangguan kesehatan mental, ditambah dengan masyarakat yang cenderung lebih mendeskripsiminasi orang yang memiliki gangguan kesehatan jiwa dengan menganggapnya “Gila”. Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan.
Kondisi semakin diperparah, ketika keluarga malu mencari bantuan psikiater atau tenaga profesional untuk berkonsultasi terkait masalah kesehatan jiwa yang dihadapi.
Dr. Sandersan juga menambahkan bahwa tantangan terbesar suatu negara dalam menangani masalah kesehatan mental adalah deskriminasi dan rasa malu. Sekarang ini, di negara Indonesia hanya ada sebanyak 4.400 psikiater dan psikolog dengan populasi penduduk di atas 250 juta orang. Belum lagi, kondisi kesehatan kejiwaaan akibat pandemi juga tidak diketahui.
Tentu saja, kesehatan mental hingga bunuh diri bisa memberikan pengaruh besar bagi perekonomian, dan membutuhkan biaya sekitar Rp. 582 triliun setiap tahunnya dalam kematian serta kehilangan produktivitas.
Peranan Pemuka Agama
Untuk menangani masalah gangguan mental lewat pendekatan agama, telah diutarakan oleh Dr. Sandersan, bahwa pihaknya seringkali menemukan kasus diskriminasi didasari oleh keyakinan yang salah tentang agama. Contohnya, orang yang memilik gangguan jiwa dianggap kurang iman.
Hal tersebut yang menyebabkan faktor kenapa walaupun dilakukan edukasi mengenai kesehatan mental bertahun-tahun, tapi kemajuannya cenderung sangat alot. Banyak sekali orang yang mengalami gangguan mental merasa enggan hingga takut mengunjungi psikolog, tetapi mereka justru berbicara bersama pemuka agama.
“Hal tersebut mengingat kebanyakan orang menyadari jika agama memberikan peran besar di negara Indonesia,” tambah Dr. Sandersan.
Hal inilah yang membuat EHFA memutuskan mengambil pendekatan secara radikal tentang edukasi kesehatan jiwa/mental, lewat deklarasi pertemuan yang dilakukan antar umat beragama pada 2-3 Juni 2022 tepatnya di Lombok. Deklarasi tersebut jga dinamakan dengan “Lombok Declaration”, tujuannya untuk menegaskan jika setiap orang yang ada di Indonesia, tidak terkecuali keluarga, guru, psikolog bisa mencari bantuan terkait kesehatan mental penderita tanpa adanya distigmatisasi atau didiskriminasi.
Adapun isi dari deklarasi tersebut, sudah dinyatakan jika pemuka dari 5 kelompok agama di Indonesia menyetujui jika masalah kesehatan jiwa atau mental bukan sesuatu yang dianggap memalukan dan mengutamakan pentingnya peran keluarga dan lingkungan untuk mendampingi orang yang memiliki masalah dalam kesehatan mentalnya.
Pada waktu yang bersamaan, deklarasi tersebut juga ikut mendorong instansi pemerintah dan lembaga keagamaan untuk saling berkolaborasi meningkatkan pelayanan serta penanganan tentang masalah gangguan mental dan pencegahan terhadap aksi bunuh diri.